Jika harus mengingat pertama kali sahur, ingatanku melayang ke
masa-masa kuliah dulu. Kuliah di Depok dengan jadwal praktikum dan
asistensi yang sangat padat, otak yang pas-pasan, membuat tinggal di kost adalah pilihan hidup yang tepat bila ingin lulus dengan IPK yang ‘tidak dipertanyakan bila melamar pekerjaan’. Waktu
4 jam sehari sangat berharga untuk belajar dan membuat laporan,
ketimbang dihabiskan untuk bermacet ria di jalan menuju rumah.
Jadi meskipun rumahku waktu itu di Slipi, Jakarta, saya tetap ngekos
di Depok dan hanya pulang di akhir pekan. Asyiknya ngekost ini sungguh
terasa saat bulan Ramadhan. Ramadhan tahun 1997 adalah pertama kali saya
merasakan sahur. Ya, saya mengalami sahur yang pertama dalam hidup saya, dan serunya luar biasa karena saya bersahur bersama teman-teman satu kost.
Kost kami adalah sebuah rumah dengan sebelas kamar. Lima kamar di
lantai dua, dan enam kamar di lantai satu. Saya menempati lantai dua.
Kelima kamar di lantai dua itu diisi oleh saya, yang duduk di Fakultas
MIPA jurusan Farmasi; Jenny salah satu teman se-jurusan; Rose- dua
tingkat di atas saya, sama-sama dari jurusan Farmasi; seorang mahasiswi
fakultas hukum (saya mendadak lupa namanya), dan Mia, seorang mahasiswi
fakultas ekonomi. Dari lima orang ini, hanya dua yang beragama Islam,
yaitu Rose dan Mia. Saya, Jenny, dan
anak FH itu adalah non muslim. Saya dan Jenny Katolik,sedangkat anak FH
itu beragama Buddha. Kami berlima waktu itu sangat dekat dan kompak.
Mungkin karena lantai 2 adalah satu-satu tempat di mana televisi
diletakkan di ruang duduk. Sehingga begitu senja hari saatkami
berkumpul, maka kami berlimalah yang seringkali menguasai televisi,
sekaligus ruang duduk tersebut, he he.
Saat Ramadhan tiba di Januari, perkuliahan sudah mulai aktif. Di
bulan Ramadhan, rata-rata warteg di daerah kost hanya buka saat jelang
waktu sahur dan berbuka puasa. Hanya satu atau dua warteg yang buka saat
siang hari, tentu dengan memakai tirai penutup.
Kesibukan para mahasiswa yang mencari makan sahur, dimulai sekitar
jam 3 pagi. Karena kamar kami berlima berdekatan, meskipun kami bertiga
non muslim, tentu suara kesibukan dua teman muslim kami ikut
membangunkan kami. Awal-awalnya kami hanya ikut bangun dan menyapa dua
teman muslim kami itu, lalu lanjut tidur kembali. Hingga di suatu hari,
salah satu teman saya menginginkan perubahan.
Saya ingat, pertama kali yang mengusulkan agar kami bertiga yang non
muslim ini sahur bareng adalah rekan saya dari fakultas hukum itu
(aduh, kok saya benar-benar lupa namanya).
“Yuk, kita coba sahur, asik lho pagi-pagi buta keluar kost
gelap-gelap, lagian kalau mau cari sarapan jam 7 atau makan siang nanti,
susah cari warung yang buka. Daripada kita kelaparan sampai magrib,
mendingan kita ikut sahur.” demikian ajaknya.
Pilihan yang logis, menurut saya. Jenny juga setuju. Ini bakal jadi pengalaman sahur pertama bagi kami bertiga.
Demi kekompakan, sekaligus keingintahuan yang besar, maka hari itu
kami bertiga bangun lebih awal dan pergi bersama-sama dengan dua kawan
muslim kami ke warteg. Awalnya mereka terkejut, tapi senang dengan niat
kami ingin sahur bareng.
Dan jadilah kami berlima, cewek semua, berjalan beriringan keluar
kost di pagi-pagi buta mencari makan sahur. Ternyata, jalanan sekitar
kost sangat ramai oleh mahasiswa yang menuju warteg, semua mencari makan
sahur. Suasana jalan yang gelap gulita sama sekali tidak menyeramkan
karena begitu ramai orang lalu lalang.
Kami memilih warteg langganan kami yang menyajikan menu rumahan
masakan campuran jawa tengah dan Sunda. Seperti biasa, kami, karena
cewek, jarang makan di warteg. Lebih memilih membungkus nasi dan lauk
untuk dimakan di kostan. Terutama karena nggak pede duduk di warteg,
makan bersama mahasiswa yang ganteng-ganteng pisan itu euy.. takut
tergoda padahal udah punya pacar (halah).
Sesampai di kost-an, kami berlima menyantap makan sahur sambil
menonton televisi yang menyajikan acara religi. Seringkali kami bertukar
lauk pauk atau camilan. Saya yang sejak kuliah doyan kopi, sering
membagi-bagikan kopis instan sachetan untuk teman-teman yang hobi ngopi
saat sahur.
Dari pertama kali makan sahur bareng itulah, muncul keinginan,
mengapa tidak sekalian berpuasa seperti teman-teman kami yang muslim,
belajar menahan hawa nafsu. Kalau teman-teman muslim bisa melakukannya,
pasti saya pun bisa, sekedar menahan lapar dan haus sampai maghrib dan
sekalian kontrol emosi diri yang sering melonjak bila dihadapkan pada
kuliah dan praktikum yang melelahkan. Begitulah, sejak saat itu saya
terbiasa ikut berpuasa saat Ramadhan, sahur dan berbuka bersama
teman-teman kost.
Yah mungkin sudah jodohnya, saya akhirnya bersuamikan seorang Muslim.
Kebiasaan berpuasa saat kuliah, bukan lagi hal yang sulit dilakukan
ketika sudah menikah. Tentunya kesibukan saya bertambah. Kalau dulu,
sewaktu kuliah saya tinggal membeli makan sahur yang sudah matang di
warteg, kini saya yang memasak dan menyiapkan sahur untuk suami dan
keluarga. Sudah 11 kali saya dan suami ber-Ramadhan bersama, tetapi
kenangan pertama bersahur bersama teman-teman kost, menjadi permata memori yang selalu mendamaikan hati di bulan suci ini.
Tulisan ini sudah pernah diposting di blog ku yang lain: http://luvjoy.blogdetik.com/2013/07/17/sahur-pertamaku-bersama-anak-kost/
No comments:
Post a Comment